BAKU REBUT MENGURAS PAPUA
Kekayaan alam di Papua tumpah ruah namun tanah ini dianggap dan diperlakukan sebagai
tanah tanpa pemilik. Kekayaanya dikuras. Orang asli Papua pun merasa ditindas. Negeri ini akhirnya menjadi ajang perebutan
dari kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik global maupun nasional.
Papua terjepit
Janganlah
menjadi kancil yang terjepit dan mati di tengah perkelahian para gajah. Begitulah ungkapan George Junus Aditjondro, Dosen
Program Pasca Sarjana, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, terhadap orang asli Papua yang dinilai bakal terjepit dan mati
gara-gara para algojo, baik dari Jakarta maupun luar negeri yang baku rebut pengaruh untuk menguasai sumber daya alam dan
politik global.
Pernyataan George itu diungkapkan dalam makalahnya, Papua Barat di kancah kontestasi kekuatan-kekuatan
ekonomi dan politik global, regional, dan nasional di Pasifik Selatan yang disampaikan kepada sekitar 70-an peserta semiloka
25 Tahun Gerakan Masyarakat Sipil di Papua yang diselenggarakan Foker LSM di Hotel Sentani Indah, 35 Juli 2006.
Menurut
lelaki kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, 27 Mei 1946 itu, Papua bakal menghadapi persoalan besar karena tanah dan kekayaan
alamnya sudah dipatok dan direbut sejumlah investor besar dari luar negeri. Untuk itu, perlu ada pengawasan, tegas George
kepada tabloid ini usai jumpa pers tentang hasil semiloka Foker LSM dan diskusi terbuka yang digelar di dapur tabloid ini
di Jalan Bosnik, Puskopad, Tanah Hitam, Abepura, 6 Juli lalu.
Krisis yang tak terelakkan
Pernyataan
George itu dipertegas lagi oleh Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Chalid Muhammad, bahwa kehidupan rakyat
Papua akan menghadapi masa krisis lantaran kekayaan alam dikuras, terjadi pelanggaran HAM, rakyat jadi penonton, ketertinggalan
atau kemiskinan, pengisapan atau penindasan, kerusakan lingkungan, penurunan daya dukung tanah dan kekayaan alam, mutu kesehatan
memburuk, mutu pendidikan sangat rendah, kelaparan dan keadilan dalam pembagian dana otsus.
Menurut Chalid, dalam lima
tahun ke depan, ada 41.955.608 hektar lahan yang akan direbut para pemodal. Saat ini sudah ada sejumlah perusahaan padat modal
yang sudah mendapat peluang atau ijin dari Jakarta untuk masuk ke Papua, kata Chalid.
Tanah
penduduk harus dilindungi
Sektor usaha dari perusahaan-perusahaan itu adalah, perusahaan taman taman industri,
perusahaan HPH, perkebunan, migas, tembaga dan emas, dan pertambangan di kawasan lindung.
Kalau lahan yang akan direbut
seluas 41.955.608 ha, maka dari total luas Papua (421.981 Km2 = 42.198.100 ha), kawasan yang tersisa hanya 242.492 ha. Jumlah
ini belum termasuk, areal yang sedang digunakan. Jadi kalau dikalkulasikan semua, maka Papua sudah direbut habis dan tak ada
lagi lahan yang tersisa.
Gejala ini sudah dibaca Bupati Sarmi, Eduard Fonataba sehingga ia mengambil inisiatif untuk
memprotesi tanah-tanah masyarakat adat. Di Sarmi, sudah ada perda yang melarang masyarakat adat menjual tanahnya ke pendatang
atau non Papua, kecuali tanah itu dikontrakkan dengan masa kontrak selama 20 tahun, ungkap Eduard Fonataba kepada tabloid
ini, beberapa waktu lalu.
Modernisasi dan masyarakat komsumtif
Dengan masuknya kekuatan-kekuatan
ekonomi dan politik ke Papua, maka diperkirakan jumlah orang asli Papua yang miskin akan bertambah dan nilai-nilai adat yang
diwariskan turun-temurun akan terkikis. Di sini akan terjadi lompatan peradaban ke kehidupan modern yang sangat konsumtif
sehingga muncul sikap ketergantungan atas sumber energi dan pangan dari
luar Papua, kata Chalid Muhammad.
Bukan saja itu, tapi juga kuota minuman
keras akan bertambah. Pengidap HIV/AIDS akan melambung, adu domba masyarakat asli dengan pendatang, pendidikan tidak berbasis
budaya Papua, tingkat kesehatan yang terabaikan sehingga tingkat kematian ibu dan anak pun melambung tinggi dan akhirnya,
jumlah penduduk asli pun semakin berkurang.
Menurut George Junus Aditjondro, kondisi ini akan mendorong terbangunnya
konomi perang di lingkup lokal (tanah murah, konflik horisontal pendatang dengan orang asli dan militer).
Selain itu,
aksi pelanggaran Hak Asasi Manusia pun terus meningkat. Soalnya, di sana-sini terjadi pembunuhan, penghilangan orang, penyiksaan
dan kekerasan seksual di sekitar areal pertambangan.
Freeport dan imperialisme AS
George Junus
Aditjondro memberi contoh PT Freeport. Di mata orang Papua, tambang raksasa ini bukan hanya simbol neo-liberalisme, atau imperialisme
bangsa AS, tapi juga simbol kolonialisme Indonesia. Atau lebih tepat, simbol persekongkolan antara imperialisme bangsa AS
dengan kelas komprador domestik bangsa Indonesia. Sebab yang mereka lihat dan rasakan adalah bahwa penggusuran sukubangsa
Amungme dan Mimika dari tanah dan perairan ulayat mereka, dilakukan oleh aparat bersenjata Indonesia, untuk kepentingan mereka
yang menjadi pemegang saham PT Freeport Indonesia. Orang Papua juga bisa mendengar dan membaca, bagaimana aparat bersenjata
yang bertugas di daerah konsesi Freeport Indonesia, ikut memperkaya diri lewat perdagangan gaharu yang hanya membawa penyakit
bagi orang Papua, khususnya HIV/AIDS.
Sementara itu, anggota Greenpeace untuk Asia Tenggara, Bustar Maitar dan
Abner Korwa menjelaskan, bahwa di Papua akan terjadi pertarungan sehingga peluang konflik politik dan social bakal terbuka
lebar. Ketika kami diskusi dengan MRP tentang berbagai kasus yang muncul setahun terakhir ini dan Papua ke depan, ternyara
ada satu kesimpulan, bahwa tanah Papua ini adalah bagian dari Indonesia. Tapi orang asli Papua bukan bagian dari republic,
kata Bustar Maitar saat berdiskusi di dapur tabloid ini pada Kamis, 6 Juli lalu.
Selain itu dijelaskan, tren pemekaran provinsi dan kabupaten di Papua, tampaknya sudah menjadi
terik politik Jakarta untuk mengkapling sumber daya alam yang terkandung di negeri ini.
Pernyataan Bustar Maitar itu
dipertegas lagi oleh Direktur Walhi, Chalid Muhammad dengan memberikan contoh. Menurut Chalid, bahwa untuk kepentingan
Olimpiade di Cina tahun 2008, Cina akan membeli kayu Merbau dari Papua sebanyak 800.000 meter kubik. Ini bukti, bahwa hutan
di Papua akan dikuras. Tapi perlu diingat, bahwa kayu Merbau itu tidak tumbuh secara rumpun. Dalam satu hektar ada sekitar
5 6 pohon. Aksi perampasan kayu dari Negeri Papua ini, akan membuat Papua merana lantaran sumber daya alam terus
dikuras. Jadi kalau kayu Merbau diambil dari Papua, maka hutan di Papua akan hancur, kata Bustar.
Selamatkan SDA Papua
Tampaknya, dengan adanya gerakan untuk menyelamatkan sumber daya alam Papua, maka Bustar meminta
agar semua pihak di Papua harus bersatu untuk mengawasi dan melawan setiap gerekan kapitalisme global. Walaupun ada ancaman,
tapi Gubernur terpilih Papua, Barnabas Suebu sudah berjanji di kepada masyarakat adat pada sidang Dewan Adat V di Hotel Sentani
Indah, bahwa setelah dilantik menjadi gubernur definitif, ia akan mencabut semua dan melarang semua perusahaan HPH di Papua
tapi secara umum, negeri Papua bakal menjadi ajang perampasan bagi investor dan rakyatnya akan
ditindas di tanahnya sendiri.
Redaksi:
Johanes Don Bosko, 05-08-2006 -
Sebenarnya yang jauh lebih penting dan mendasar adalah PENINGKATAAN SEMUA ASPEK BISNIS YG HARUS
MELIBATKAN ORG PRIBUMI, DAN JAUH LEBIH PENTING LAGI ADALAH MENCARAI SOLUSI BUKAN MENCARI KAMBING HITAM, saya memiliki pengalaman
dengan bisnis saya yang lebih memberdayakan oarang orang papua, jadi lewat perjuangan yang lebih kongkrit,namun saya yakin
ada banyak bidang yang masing-masing bertanggung jawab dalam pengentasan kemiskinan di tanah Papua. Ingatlah juga setahu saya
hanya segelintir org asli Papua yang dapat menikmati "proyek" dari pusat maupun dari Freeport. Jadi segeralah menacari bidang2
yang langsung menyentuh pemberdayaan rakyat Papua. dan saya siap melakukan itu. ini terbuka untuk semua kalangan dan lapisan
maayarakat Papua dan lebih penting lagi ini sudah terbukti hasilnya. Sukses Rakyat Papua, Saya sama seperti Anda semua sedang
berjuang melawan diri sendiri dan selalu memacu semangat positif untuk maju. Ben Bey... Johanes Don bosko Sorai, 05-08-2006
- Indonesia Kekayaan alam di Papua tumpah ruah namun tanah ini dianggap dan diperlakukan sebagai tanah tanpa pemilik.
Kekayaanya dikuras. Orang asli papua pun merasa ditindas. Negeri ini akhirnya menjadi ajang perebutan dari kekuatan-kekuatan
ekonomi dan politik global maupun nasional. Apakah orang Papua hanya tinggal diam saja dan jadi penonton ?, tidak kita harus
berbuat sesuatu untuk tanah dan bangsa kita ini dari penjajah, tidak ada kata diam dan penurut, yang ada lawan ketidak adilan
ini, Tuhan ada pada orang Papua.
Salam pembebasan, Sorai
|