Welcome Visit to Agadide Web

-

Home
-
-
-
-
-
-
-
8
-
-
11
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-

BAKU REBUT MENGURAS PAPUA

Kekayaan alam di Papua tumpah ruah namun tanah ini dianggap dan diperlakukan sebagai tanah tanpa pemilik. Kekayaanya dikuras. Orang asli Papua pun merasa ditindas. Negeri ini akhirnya menjadi ajang perebutan dari kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik global maupun nasional.

Papua terjepit

Janganlah menjadi kancil yang terjepit dan mati di tengah perkelahian para gajah. Begitulah ungkapan George Junus Aditjondro, Dosen Program Pasca Sarjana, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, terhadap orang asli Papua yang dinilai bakal terjepit dan mati gara-gara para algojo, baik dari Jakarta maupun luar negeri yang baku rebut pengaruh untuk menguasai sumber daya alam dan politik global.

Pernyataan George itu diungkapkan dalam makalahnya, Papua Barat di kancah kontestasi kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik global, regional, dan nasional di Pasifik Selatan yang disampaikan kepada sekitar 70-an peserta semiloka 25 Tahun Gerakan Masyarakat Sipil di Papua yang diselenggarakan Foker LSM di Hotel Sentani Indah, 35 Juli 2006.

Menurut lelaki kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, 27 Mei 1946 itu, Papua bakal menghadapi persoalan besar karena tanah dan kekayaan alamnya sudah dipatok dan direbut sejumlah investor besar dari luar negeri. Untuk itu, perlu ada pengawasan, tegas George kepada tabloid ini usai jumpa pers tentang hasil semiloka Foker LSM dan diskusi terbuka yang digelar di dapur tabloid ini di Jalan Bosnik, Puskopad, Tanah Hitam, Abepura, 6 Juli lalu.

Krisis yang tak terelakkan

Pernyataan George itu dipertegas lagi oleh Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Chalid Muhammad, bahwa kehidupan rakyat Papua akan menghadapi masa krisis lantaran kekayaan alam dikuras, terjadi pelanggaran HAM, rakyat jadi penonton, ketertinggalan atau kemiskinan, pengisapan atau penindasan, kerusakan lingkungan, penurunan daya dukung tanah dan kekayaan alam, mutu kesehatan memburuk, mutu pendidikan sangat rendah, kelaparan dan keadilan dalam pembagian dana otsus.

Menurut Chalid, dalam lima tahun ke depan, ada 41.955.608 hektar lahan yang akan direbut para pemodal. Saat ini sudah ada sejumlah perusahaan padat modal yang sudah mendapat peluang atau ijin dari Jakarta untuk masuk ke Papua, kata Chalid
.

Tanah penduduk harus dilindungi


Sektor usaha dari perusahaan-perusahaan itu adalah, perusahaan taman taman industri, perusahaan HPH, perkebunan, migas, tembaga dan emas, dan pertambangan di kawasan lindung.

Kalau lahan yang akan direbut seluas 41.955.608 ha, maka dari total luas Papua (421.981 Km2 = 42.198.100 ha), kawasan yang tersisa hanya 242.492 ha. Jumlah ini belum termasuk, areal yang sedang digunakan. Jadi kalau dikalkulasikan semua, maka Papua sudah direbut habis dan tak ada lagi lahan yang tersisa.

Gejala ini sudah dibaca Bupati Sarmi, Eduard Fonataba sehingga ia mengambil inisiatif untuk memprotesi tanah-tanah masyarakat adat. Di Sarmi, sudah ada perda yang melarang masyarakat adat menjual tanahnya ke pendatang atau non Papua, kecuali tanah itu dikontrakkan dengan masa kontrak selama 20 tahun, ungkap Eduard Fonataba kepada tabloid ini, beberapa waktu lalu.

Modernisasi dan masyarakat komsumtif

Dengan masuknya kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik ke Papua, maka diperkirakan jumlah orang asli Papua yang miskin akan bertambah dan nilai-nilai adat yang diwariskan turun-temurun akan terkikis. Di sini akan terjadi lompatan peradaban ke kehidupan modern yang sangat konsumtif sehingga muncul sikap ketergantungan atas sumber energi dan pangan dari

luar Papua, kata Chalid Muhammad.

Bukan saja itu, tapi juga kuota minuman keras akan bertambah. Pengidap HIV/AIDS akan melambung, adu domba masyarakat asli dengan pendatang, pendidikan tidak berbasis budaya Papua, tingkat kesehatan yang terabaikan sehingga tingkat kematian ibu dan anak pun melambung tinggi dan akhirnya, jumlah penduduk asli pun semakin berkurang.

Menurut George Junus Aditjondro, kondisi ini akan mendorong terbangunnya konomi perang di lingkup lokal (tanah murah, konflik horisontal pendatang dengan orang asli dan militer).

Selain itu, aksi pelanggaran Hak Asasi Manusia pun terus meningkat. Soalnya, di sana-sini terjadi pembunuhan, penghilangan orang, penyiksaan  dan kekerasan seksual di sekitar areal pertambangan.

Freeport dan imperialisme AS

George Junus Aditjondro memberi contoh PT Freeport. Di mata orang Papua, tambang raksasa ini bukan hanya simbol neo-liberalisme, atau imperialisme bangsa AS, tapi juga simbol kolonialisme Indonesia. Atau lebih tepat, simbol persekongkolan antara imperialisme bangsa AS dengan kelas komprador domestik bangsa Indonesia. Sebab yang mereka lihat dan rasakan adalah bahwa penggusuran sukubangsa Amungme dan Mimika dari tanah dan perairan ulayat mereka, dilakukan oleh aparat bersenjata Indonesia, untuk kepentingan mereka yang menjadi pemegang saham PT Freeport Indonesia. Orang Papua juga bisa mendengar dan membaca, bagaimana aparat  bersenjata yang bertugas di daerah konsesi Freeport Indonesia, ikut memperkaya diri lewat perdagangan gaharu yang hanya membawa penyakit bagi orang Papua, khususnya HIV/AIDS.

Sementara itu, anggota Greenpeace untuk Asia Tenggara,  Bustar Maitar dan Abner Korwa menjelaskan, bahwa di Papua akan terjadi pertarungan sehingga peluang konflik politik dan social bakal terbuka lebar. Ketika kami diskusi dengan MRP tentang berbagai kasus yang muncul setahun terakhir ini dan Papua ke depan, ternyara ada satu kesimpulan, bahwa tanah Papua ini adalah bagian dari Indonesia. Tapi orang asli Papua bukan bagian dari republic, kata Bustar Maitar saat berdiskusi di dapur  tabloid ini pada Kamis, 6 Juli lalu.

Selain itu dijelaskan, tren pemekaran provinsi dan kabupaten di Papua, tampaknya sudah menjadi terik politik Jakarta untuk mengkapling sumber daya alam yang terkandung di negeri ini.

Pernyataan Bustar Maitar itu dipertegas lagi oleh Direktur Walhi, Chalid Muhammad dengan memberikan contoh. Menurut Chalid, bahwa  untuk kepentingan Olimpiade di Cina tahun 2008, Cina akan membeli kayu Merbau dari Papua sebanyak 800.000 meter kubik. Ini bukti, bahwa hutan di Papua akan dikuras. Tapi perlu diingat, bahwa kayu Merbau itu tidak tumbuh secara rumpun. Dalam satu hektar ada sekitar 5  6 pohon.  Aksi perampasan kayu dari Negeri Papua ini, akan membuat Papua merana lantaran sumber daya alam terus dikuras. Jadi kalau kayu Merbau diambil dari Papua, maka hutan di Papua akan hancur, kata Bustar.

Selamatkan SDA Papua

Tampaknya, dengan adanya gerakan untuk menyelamatkan sumber daya alam Papua, maka Bustar meminta agar semua pihak di Papua harus bersatu untuk mengawasi dan melawan setiap gerekan kapitalisme global. Walaupun ada ancaman, tapi Gubernur terpilih Papua, Barnabas Suebu sudah berjanji di kepada masyarakat adat pada sidang Dewan Adat V di Hotel Sentani Indah, bahwa setelah dilantik menjadi gubernur definitif, ia akan mencabut semua dan melarang semua perusahaan HPH di Papua tapi secara umum, negeri Papua bakal menjadi ajang perampasan bagi investor dan rakyatnya akan ditindas di tanahnya sendiri.

Redaksi:

Johanes Don Bosko, 05-08-2006 -

Sebenarnya yang jauh lebih penting dan mendasar adalah PENINGKATAAN SEMUA ASPEK BISNIS YG HARUS MELIBATKAN ORG PRIBUMI, DAN JAUH LEBIH PENTING LAGI ADALAH MENCARAI SOLUSI BUKAN MENCARI KAMBING HITAM, saya memiliki pengalaman dengan bisnis saya yang lebih memberdayakan oarang orang papua, jadi lewat perjuangan yang lebih kongkrit,namun saya yakin ada banyak bidang yang masing-masing bertanggung jawab dalam pengentasan kemiskinan di tanah Papua. Ingatlah juga setahu saya hanya segelintir org asli Papua yang dapat menikmati "proyek" dari pusat maupun dari Freeport. Jadi segeralah menacari bidang2 yang langsung menyentuh pemberdayaan rakyat Papua. dan saya siap melakukan itu. ini terbuka untuk semua kalangan dan lapisan maayarakat Papua dan lebih penting lagi ini sudah terbukti hasilnya. Sukses Rakyat Papua, Saya sama seperti Anda semua sedang berjuang melawan diri sendiri dan selalu memacu semangat positif untuk maju. Ben Bey... Johanes Don bosko Sorai, 05-08-2006 - Indonesia
Kekayaan alam di Papua tumpah ruah namun tanah ini dianggap dan  diperlakukan sebagai tanah tanpa pemilik. Kekayaanya dikuras. Orang asli papua pun merasa ditindas. Negeri ini akhirnya menjadi ajang perebutan dari kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik global maupun nasional. Apakah orang Papua hanya tinggal diam saja dan jadi penonton ?, tidak kita harus berbuat sesuatu untuk tanah dan bangsa kita ini dari penjajah, tidak ada kata diam dan penurut, yang ada lawan ketidak adilan ini, Tuhan ada pada orang Papua.
 
 Salam pembebasan, Sorai


Enter supporting content here

Terimakasih Atas Kunjungan Anda! Amanai.....!!!!